Arab Saudi Mengajarkan Kami Banyak Arti



“Ibu berangkat ya, Nggi” Begitu kiranya isi pesan singkat Ibu terakhir di bandara sebelum bertolak ke Arab Saudi. Aku hanya sanggup melelehkan air mata dan merapal berbagai doa untuk keselamatan Ibu mulai dari berangkat hingga dipulangkan nanti. Bukan, Ibu bukannya hendak melaksanakan ibadah haji atau umroh. Namun keberangkatan Ibu adalah mencari nafkah. Iya, Ibu harus mencari nafkah hingga kesana, menjadi tenaga kerja wanita (TKW) bekerja sebagai asisten rumah tangga pada sebuah keluarga. Dan aku baru akan bertemu kembali dengan Ibu dua setengah tahun kemudian sejak hari pertama Ibu bekerja.

Bukannya sekali-dua kali aku melihat berita soal TKW (maaf) terpaksa kembali ke tanah air dengan lebam dimana-mana yang (katanya) merupakan ulah majikannya. Bukan sekali-dua kali juga aku sekuat hati melarang Ibu untuk pergi. Tapi saat itu aku hanyalah mahasiswa tingkat akhir yang kenyataannya sedang butuh biaya banyak untuk kelulusannya dan punya adik tiga orang yang kesemuanya bersekolah. Bapak telah menghadap Tuhan dua tahun sebelumnya, hingga disinilah Ibu banyak mengambil peran untuk menafkahi kami berempat dan dirinya. Disitulah, walau aku rasanya kesal berulang-ulang merutuk diri sendiri dan orang-orang (saat itu rasanya tak ada yang peduli pada kami), namun ternyata Tuhan kuasa membuatku melihat segalanya sebagai sebuah pembelajaran berharga. Aku menemukan titik balik dalam hidupku.

Adik-adik saat itu dititipkan kepada saudara yang berada di kampung halaman untuk diasuh dan disekolahkan. Ya, kenyataannya selain berjauhan dengan Ibu, aku juga berjauhan dengan adik-adik, walau aku masih bisa mengunjungi mereka sesekali. Di saat bersamaan aku harus tetap fokus pada skripsi yang aku kerjakan, pada gelar sarjana yang harus segera aku dapatkan, dan pada calon-calon pekerjaan yang harus segera aku raih. Semuanya aku niatkan sebagai persembahan untuk kedua orang tuaku. Baktiku betul-betul diuji untuk segera diwujudkan. Aku harus kuat.

Dua setengah tahun itu memang sudah berlalu. Kini kami sudah berkumpul kembali, berjuang agar menjadi keluarga yang kokoh kembali. Walau yang dulu itu rasanya sulit, tapi pelajaran hidup yang kuraih tak sedikit. Aku paham cinta orang tua kepada anaknya banyak bentuknya,  aku paham cinta orang tua kepada anaknya tak menunggu hingga esok, dan aku paham dalam segala keterbatasannya, orang tua akan selalu melakukan yang terbaik demi anak-anaknya, walau terkadang caranya yang sulit dipahami oleh anak-anaknya.

Bisa jadi saat itu aku dan adik-adik tidak bisa lagi melanjutkan sekolah, tapi Ibu memilih bekerja keras untuk dapat mewujudkannya. Bisa jadi saat itu kami tidak bisa lagi menempati rumah yang selama ini kami tempati, tapi Ibu memilih bekerja giat agar anak-anaknya punya tempat berlindung. Bisa jadi saat itu Ibu hanya tenggelam dalam depresinya, tapi Ibu memilih untuk bangkit kembali demi kehidupan kami yang lebih baik.



Ibu, tetaplah begitu. Tetaplah setia mendoakan segala hal yang terbaik untuk kami dan tetaplah setia bersabar atas kami yang sedang berusaha mewujudkan mahakarya terbaik kami untuk Ibu. Ibu, hebat.

Komentar

Postingan Populer