Kabut Asap; Mari Jadi Solusi Bersama





Entah berapa lama persisnya kabut asap itu terus menggantung di langit-langit desa. Langit-langit kecamatan, kabupaten, dan bahkan provinsi pun tak luput dari sapaannya. Sebagai pendatang (dari Pulau Jawa) baru di bumi borneo ini, awalnya saya lumayan kaget menghadapi kabut asap (beberapa waktu lalu) yang bahkan bukannya kian menipis, terutama di pagi hari. Hampir-hampir tak pernah saya temui kabut asap yang absen menemani perjalanan saya menuju sekolah, bahkan ketika jam sudah menunjukkan pukul  setengah delapan pagi.

Banyak pewarta di banyak media mengatakan bahwa penyebabnya adalah kebakaran lahan dan hutan. Saya pun jelas melihatnya setiap hari dimana-mana. Sirine pemadam kebakaran bak beradu dengan detik dimana kobaran api makin menjadi. (Yang paling saya ingat) Juga kejadian di belakang sekolah kami. Sore itu saya terkejut ketika orang-orang sudah ramai berkumpul terserak, ada yang di belakang sekolah, ada yang di halaman sekolah, ada yang sibuk lari-larian, ada pula yang dengan peralatan seadanya membantu memadamkan api sambil menanti kapan tibanya petugas pemadam kebakaran (padahal sudah dihubungi berulang kali) datang. Beruntung api yang hampir melalap sekolah kami mengalah. Sekolah kami masih tegap. Walau banyak meninggalkan jelaga di segala penjuru sekolah dan membuat seisi sekolah bahu-membahu membersihkannya.

Lucunya, murid-murid usia SD bahkan tak gentar melihat jilatan lidah api yang bebas bergoyang mengikuti arah angin. Mereka menyambut gegap gempita kala mobil satuan pemadam kebakaran beserta BNPB meraung-raung hingga tepat di halaman sekolah. Mobil pemadam kebakaran bagai hiburan yang tak henti mereka dekati dan pandangi. Bahkan memberi inspirasi bagi beberapa dari mereka yang keesokannya bercerita kepada saya soal cita-cita baru yaitu menjadi seorang petugas pemadam kebakaran.

Itu cerita di sekolah. Lain lagi ceritanya di desa. Kebakaran lahan dan hutan juga membuat kaum bapak terjaga, takut kalau-kalau api yang asalnya entah darimana ikut menyambar lahan mereka, baik itu yang ditanami sayur-mayur, karet, maupun sawit. Rukun tetangga tempat saya tinggal pun cepat-cepat mengadakan gotong royong membersihkan rumput liar yang menjulur terutama di pinggir jalan utama. Hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan atas merambatnya api yang bisa datang darimana saja.

Pernah satu hari, api akhirnya datang juga di lahan yang persisnya tak jauh dari rumah keluarga angkat saya. Seorang ibu memacu motornya cepat. Sambil tersengal nafasnya, saya dipanggilnya dari jauh. “Bu guru...bu guru...tolong telponkan pemadam kebakaran Bu, api dekat betul belakang rumahku”. Saya yang waktu itu juga tidak pernah mengetahui nomor telepon pemadam kebakaran, mencoba menghubungi salah seorang rekan guru sambil penuh harap beliau mengetahui nomor telepon pemadam kebakaran. Benar saja, begitu pesan singkat yang berisi sejumlah angka masuk ke ponsel pribadi saya, dengan penuh harap saya bergegas menghubungi  petugas pemadam kebakaran, walau ternyata hasilnya nihil.
Petugas pemadam kebakaran tak bisa datang ke desa kami. Padahal saya saat itu sudah berusaha menjelaskan detil situasi kebakaran yang terjadi di dekat permukiman kami. Memang benar banyak titik api lainnya yang juga harus dipadamkan, sehingga kami pun dimintai tolong oleh petugas pemadam kebakaran untuk mengerahkan warga agar bersama-sama memadamkan api.

Ya, musim kemarau, kekeringan, dan kebakaran hutan dan lahan nyatanya tak terpisahkan. Rasanya banyak orang sudah tahu bahwa pembukaan atau pengalihfungsian hutan dan lahan baik milik perseorangan maupun perusahaan dengan cara paling murah dan sederhana adalah dengan membakarnya. Pembakaran paling maksimal dilakukan pada musim kemarau. Di desa kami saja, banyak lahan yang dulunya adalah lahan tidur, kemudian berdiri berbaris-baris teratur mulai dari palawija, sawit, hingga karet diatasnya. Besar harapan nanti ketika musim hujan tiba, tanaman tersebut bersemai disapa lembutnya  titik-titik hujan.

Kabupaten Paser, menurut beberapa portal pemberitaan baik lokal maupun nasional juga merupakan penyumbang titik api nomor dua di Kalimantan Timur pada tahun 2015 (nasional.tempo.co, 15 Oktober 2015). Paling tidak sebanyak tiga juta jiwa di Kalimantan terpapar asap (Kompas, 5 September 2015). Akibatnya, timbul kerugian dan hilangnya potensi ekonomi. Sebagai contoh, ancaman gangguan pernapasan (seperti ISPA dan asma), jadwal penerbangan yang (kebanyakan) batal atau tertunda di sejumlah bandara, kegiatan perkantoran atau sekolah yang terpaksa diliburkan beberapa hari, serta transaksi bisnis yang merosot nilainya bahkan sementara harus dihentikan.

Belum lagi soal keanekaragaman hayati yang hilang. Monyet dan babi rusa banyak dijumpai ‘turun kampung’ ke desa kami akibat tak punya lagi rumah guna berlindung atau sekedar makan untuk bertahan hidup. Tumbuhan yang hidup diatas lahan yang terbakar pun hangus tanpa sisa. Termasuk pohon-pohon tegap yang daunnya hijau lebat dan akarnya sudah menancap jauh ke perut bumi. Parit-parit dan anak sungai pun merana kekeringan akibat kehilangan banyak air didalamnya sebagai dampak lanjutan kebakaran hutan dan lahan, kemarau panjang, dan El nino.

Pemerintah daerah melalui dinas kehutanan sebetulnya tak kurang mengingatkan setiap warga agar turut aktif mencegah dan menanggulangi bencana kebakaran lahan dan hutan ini. Buktinya, beberapa bulan sebelum kemarau datang, penyuluhan dan pembagian poster aktif dilakukan. Isi penyuluhan yang terangkum dalam poster tersebut antara lain; Ancaman bakar hutan penjara 15 tahun dan denda 5 miliar (UU No. 41 tahun 1999), ancaman bakar lahan penjara 3 tahun ditambah  denda 3 miliar, dan bagi pemegang IUP, IUP-P, IUP-B jika tidak mengindahkan peringatan IUP,IUP-P,IUP-B dan HGU dapat dicabut (UU No. 18 tahun 2004 dan Permentan No. 26 Tahun 2007), ajakan  untuk ikut serta melestarikan hutan dan lahan, ajakan untuk turut aktif melaporkan pelaku pembakaran hutan dan lahan kepada pihak yang berwajib, serta dampak makro yang terjadi jika kebakaran hutan dan lahan terjadi.

Seluruh elemen mulai dari pemadam kebakaran, BNPB, dan TNI pun mengerahkan mulai dari armada terbaik dan petugasnya agar setiap titik api dapat dipadamkan dengan cepat dan maksimal. Setiap laporan yang masuk ditanggapi dengan baik. Walau memang peran serta masyarakat untuk memadamkan api dengan peralatan sederhana sangat dibutuhkan terutama di tempat-tempat yang sulit dijangkau oleh mobil petugas pemadam kebakaran.

Menarik ketika saya mengamati ekspresi orang-orang menghadapi titik api dan kabut asap (yang waktu itu) jumlahnya banyak, tersebar dimana-mana, dan sering. Kebanyakan dari mereka seperti sudah biasa, layaknya banjir yang kerap menyapa Jakarta. Keluhan pasti ada, terutama kaum ibu yang memiliki anak usia bayi maupun balita dan tinggal berdekatan dengan sumber api. Oknum pembakar hutan dan lahan tentunya tak henti disumpahi. Flu ringan, batuk, dan radang tenggorokan jadi hal lumrah. Keberadaan masker semakin sulit jua didapati di apotek-apotek terdekat. Sampai-sampai seorang rekan saya harus minta dikirimi dari Pulau Jawa.

Tapi bicara soal kabut asap tanpa mencari solusinya adalah bak selalu jatuh di kubangan yang sama. Ketika alam dimanfaatkan bersama, maka solusi seharusnya dikerjakan bersama-sama pula. Sudah sering kita dengar soal zero deforestasi, REDD, Kyoto Protokol, maupun yang baru-baru ini adalah COP 21, dimana pemerintah Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Sedangkan kenyataannya sumber emisi GRK  Indonesia tiap tahun (dan makin parah) justru berasal dari alih fungsi lahan  dan deforestasi (Laporan WALHI dalam COP 21 Paris). Ini berarti kebijakan tidak adanya penebangan dan pembakaran hutan alam untuk kebutuhan lahan yang harusnya menjadi komitmen tinggi para pemilik konsesi bahkan siapapun, belum sepenuhnya berjalan sempurna.

Tanggung jawab bersama ini yang juga sering dilupakan. Kalau sudah seperti ini, kemudian orang-orang ramai tuding sana dan sini. Kejadian kabut asap berbulan-bulan ini juga menjadi pengingat bagi diri saya sebagai tenaga pendidik dan bagian dari masyarakat. Sudah sejauh apa saya turut berkontribusi menjaga alam dan lingkungan sekitar. Selama kabut asap kemarin saya jadi sering mengajak siswa-siswi berkeliling melihat-lihat dampak kerusakan yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan. Pemahaman dan pengalaman langsung sangat penting bagi mereka guna pembentukan karakter mereka di masa depan. Karakter manusia yang bertanggung jawab menjaga alam dan lingkungan sekitarnya.

Siapapun bisa bergerak menjadi pengentas pelaku pembakaran dan pengalihfungsian hutan dan lahan. Termasuk tenaga pendidik. Saya berandai-andai, ada sebuah paket pembelajaran yang bisa disisipkan secara langsung maupun sebagai tambahan tentang segala hal yang menyangkut pembakaran hutan dan lahan. Utamanya di daerah rawan kebakaran hutan dan kabut asap seperti Kalimantan, paket pembelajaran ini kedepannya dapat disusun, disosialisasikan, dan dipraktikkan bersama seluruh satuan pendidikan. Harapan besar di masa depannya adalah generasi yang disiapkan mulai dari sekarang dengan karakter kuat terhadap alam dan lingkungan sekitar.

Begitupun lingkup terkecil dalam masyarakat, seperti Ketua RT. Sangat penting karakter kuat dari seorang Ketua RT. Sebagai contoh, saya sangat senang mengamati bagaimana pendekatan yang dilakukan oleh Ketua RT (yang juga orang tua angkat saya) tempat saya tinggal di Paser ini. Adalah Ibu Jannah dan Bapak Samsul (Ketua RT 7 Trans Rantau  Panjang) yang setiap bulannya tak pernah absen merekatkan warganya lewat urun rembug, termasuk soal menanggulangi kebakaran hutan. Solusi soal kerja bakti membersihkan dan merapikan rumput-rumput liar pun akhirnya datang dari warga sendiri.  Oleh karena itu, sangat penting adanya tenaga sukarela untuk pendampingan berkala di masyarakat agar ketua-ketua RT atau kepala desa semakin bersemangat menjaga alam dan lingkungan sekitar mereka.

Nyatanya alam memang selalu memberikan seluruhnya untuk kehidupan manusia. Tanpa ada kata terlambat, inilah saatnya kita semua merawatnya dengan baik sebagai bentuk syukur yang paling luhur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Anda siap?



























Komentar

Postingan Populer